Reaksi yang muncul di Indonesia atas pemukulan wasit karate, Donald Luther Colopita, oleh polisi Malaysia begitu hebat dan bergerak liar seperti bola salju. Menpora Adhyaksa Dault mengancam memboikot seluruh ajang olahraga yang digelar di Malaysia, anggota parlemen meminta hubungan diplomatik dengan Malaysia dikaji ulang, dan demonstran meneriakkan "ganyang Malaysia".
Ini bukan yang pertama. Tiga tahun lalu, rakyat Indonesia pun bereaksi keras menyusul penyiksaan atas TKI, Nirmala Bonat, oleh majikannya di Malaysia. Gelombang anti-Malaysia yang lebih besar muncul ketika Malaysia mengklaim Blok Ambalat sebagai bagian dari wilayahnya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa sedikit saja ada percikan api, sekam di balik hubungan Indonesia-Malaysia dengan mudahnya terbakar. Padahal, kedua negara jelas-jelas saling membutuhkan, saling bergantung, bahkan saling mengaku serumpun. Seperti judul lagu, hubungan Indonesia-Malaysia itu seperti "benci, tapi rindu".
Mantan Menlu Ali Alatas sejauh ini mengidentifikasi, setidaknya ada empat isu yang selama ini menjadi titik api dalam hubungan Indonesia-Malaysia, yakni masalah perbatasan, kabut asap, pembalakan liar, dan TKI. Untuk isu TKI, Ali Alatas menyebutnya sebagai "bom waktu" yang siap meledak kapan saja.
Sialnya, "bom waktu" itu muncul hampir sepanjang tahun. Sejak Maret 2007 saja, Deplu mencatat ada 10 kasus penganiayaan dan pemerkosaan terhadap TKI. Salah seorang korban, yakni Kurniasih, tewas. Di luar itu, Migrant Care mencatat, ada seorang lagi TKI bernama Sumarmi yang ditemukan tewas di Malaysia, 25 Agustus lalu.
Jika tidak ada kasus pemukulan terhadap Donald, barangkali kasus Kurniasih dan Sumarmi yang menjadi pemicu gelombang anti-Malaysia baru-baru ini di Indonesia.
Apa sebenarnya yang menjadi pemicu perlakuan buruk terhadap TKI dan WNI di Malaysia? Ali Alatas mensinyalir adalah stereotip negatif terhadap TKI. Sebagian kalangan di Malaysia, katanya, melihat TKI sebagai pekerja yang tidak berkompeten, bodoh, tidak terdidik, dan tidak memiliki dokumen. Stereotip seperti ini kemudian dilekatkan secara umum untuk menilai Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Sebaliknya, karena TKI dan WNI di Malaysia sering dipandang rendah dan dihina, sebagian besar orang Indonesia mencap Malaysia sebagai bangsa yang arogan, kasar, dan otoriter.
Persepsi itu semakin kuat karena, sejauh ini, Pemerintah Malaysia tidak memperlihatkan keseriusannya untuk menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap TKI. Menurut Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Deplu Teguh Wardoyo, Pemerintah Malaysia belum menyelesaikan 15 kasus pemerkosaan dan penyiksaan terhadap TKI terhitung sejak 2004. Akibatnya, hingga kini para pelaku kejahatan terhadap TKI belum dihukum.
Kesejahteraan
Mantan Dubes RI untuk Malaysia Rusdiharjo menilai, persepsi negatif orang Malaysia terhadap TKI bermula dari adanya kesenjangan kesejahteraan yang lebar di antara kedua negara. "Orang Malaysia butuh pembantu, dan TKI datang ke sana untuk bekerja (sebagai pembantu). Namun, banyak di antara TKI yang tidak punya keterampilan memadai. Inilah yang menjadi masalah," ujarnya.
Selain itu, banyak TKI yang datang secara ilegal ke Malaysia. Sebagian dari mereka, kata Rusdiharjo, ada yang terlibat kejahatan. Akibatnya, orang Malaysia menganggap bahwa TKI membawa masalah sosial.
Anda masih ingat istilah "indon"? Dulu, kata Rusdiharjo, kata "indon" dipakai untuk menyingkat kata Indonesia seperti mereka menyingkat kata Banglades menjadi "Banglo". Namun, karena banyaknya berita jelek yang yang melibatkan TKI, kata "indon" sekarang berkonotasi negatif.
Rusdiharjo mengatakan, bangsa Indonesia tidak bisa menyalahkan pihak lain atas munculnya persepsi negatif terhadap TKI. "Yang paling penting adalah bagaimana memperbaiki mentalitas, keterampilan, dan etos kerja para TKI di Malaysia. Hanya dengan cara itu, persepsi bahwa TKI itu bodoh, tak bisa apa-apa, bisa dihapus," ujarnya.
Sayangnya, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Komisi Pemberantasan Korupsi masih menemukan 11 pelanggaran dalam pengiriman hingga pemulangan TKI. Pelanggaran itu antara lain penyuapan dan percaloan dokumen TKI.
Jika praktik semacam ini terus terjadi, bagaimana mungkin Indonesia bisa mengirim TKI yang kompeten, memiliki keterampilan, pintar, dan bisa menghadirkan citra positif. (BSW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar