Jalan Sutra
Hayo, soto bukan dari Malaysia, lho? Asli Indonesia punya! Bulan lalu, bersama Myra Sidharta, kami menjadi dua orang yang "mewakili" Indonesia dalam sebuah simposium regional di Penang, Malaysia, tentang pengaruh budaya Tionghoa terhadap berbagai kuliner lokal. Dalam sebuah diskusi di meja makan, saya sempat berdebat dengan "wakil" Malaysia yang mengatakan bahwa nasi goreng adalah hidangan khas Malaysia.
"Coba tunjukkan, Malaysia punya berapa macam nasi goreng?" tanya saya. Yang saya tanya gelagapan. Lalu, dia menjawab sekenanya. "Ada yang gaya Tionghoa, ada yang gaya India-Pakistan," katanya.
"Adakah nasi goreng gagrak Melayu?" kejar saya dengan pertanyaan lain? Dia makin kebingungan. Artinya, mungkin memang tidak ada.
Saya katakan kepadanya bahwa di Indonesia, selain nasi goreng gagrak Tionghoa yang khas, setiap daerah punya keunikan nasi goreng masing-masing. Di Bogor ada nasi goreng pete. Di Semarang ada nasi goreng babat. Di Magelang ada nasi goreng ruwet (karena nasinya dicampur mi). Di Yogyakarta ada nasi goreng putih (karena tidak memakai kecap). Di Makassar nasi gorengnya berwarna merah muda. Di Jakarta ada nasi goreng kambing. Di Surabaya ada nasi goreng ikan asin. Di Medan ada nasi goreng teri. Di Aceh nasi gorengnya pun sangat khas. Ada lagi nasi goreng udang. Ada pula nasi goreng kampung atau nasi goreng Jawa. Belum terhitung nasi goreng untuk anak-anak muda gaul yang disebut nasi gila. Masih mau daftar yang lebih panjang?
Dia terdiam. Menyerah!
Maka, saya pun ingat tulisan minggu lalu tentang grombyang dari Pemalang yang merupakan "blasteran" antara soto dan rawon. Hitung punya hitung, Indonesia juga punya keberagaman yang fantastis soal soto. Karena itu, sebelum soto pun diaku sebagai hak atas kekayaan intelektual dari negara lain, baiklah kita mulai melakukan kodifikasi terhadap soto.
Sekitar lima tahun yang lalu saya pernah menulis di bawah judul "Soto, Sroto, Cotto, Tauto". Dalam artikel itu saya juga memertanyakan, apa batasannya sebuah masakan disebut sop, dan kapan dia menyeberang menjadi soto? Mengapa soto berubah nama menjadi cotto di Makassar, dan berubah lagi menjadi sroto di Banyumas, sementara banyak orang di Yogya dan Solo menyebutnya sebagai saoto? Lagi-lagi soal nomenklatur yang sudah memerlukan standarisasi.
Dalam buku Mustika Sejuta Rasa dari Sabang sampai Merauke terbitan Departemen Pertanian di zaman baheula (1.126 halaman, memuat ribuan resep masakan), hanya terdapat tujuh resep soto dari berbagai daerah Indonesia, yaitu soto ayam, Soto Bandung, Soto Banten, Soto Kedu, Soto Madura, Soto Pamekasan, Soto Selada Air. Padahal di buku yang sama tercantum resep 25 jenis sup dari berbagai daerah.
Sekalipun sampai sekarang saya menganggap bahwa buku itu adalah yang paling lengkap mencantumkan semua resep masakan Nusantara, namun jumlah tujuh jenis soto yang disebut itu belum mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman soto Nusantara. Kenapa hanya ada Soto Pamekasan dan Soto Madura? Menurut saya, di Madura ada tiga gagrak utama soto, yaitu: Soto Bangkalan, Soto Sumenep dan Soto Pamekasan. Soto Bangkalan sendiri punya dua jenis, yaitu yang berkuah bening dan berkuah kuning.
Lalu, di mana pula posisi Soto Medan, Soto Padang, Soto Tangkar Betawi, Soto Kuning Bogor, empal gentong Cirebon, soto babat Tasikmalaya, Grombyang Pemalang, Tauto Pekalongan, Soto Kudus, sroto Sukaraja, soto Lamongan, soto sulung, soto kikil Suroboyo, cotto mangkasara' dan Soto Banjarmasin?
Bagaimana pula kita menempatkan apresiasi pada berbagai gagrak soto khas yang mewakili lokalitas kecil? Di Semarang, misalnya, ada soto bangkong, soto bokoran, dan soto selan yang masing-masing punya ciri khas pembeda. Di Jakarta sekarang makin banyak dijumpai penjual soto betawi yang menyajikan dua jenis kuah, yaitu kuah santan dan kuah bening. Sekalipun isi atau dagingnya sama, namun karakter kuahnya mem- buat kedua soto itu berbeda bagai bulan dan matahari.
Kalaupun berbagai jenis sop sebetulnya juga bisa disebut sebagai soto, bagaimana pula kualifikasi untuk hidangan berkuah encer seperti rawon, pindang Kudus, gandul Pati, kuah asam Manado, palumara Makassar, binte bilihuta Gorontalo yang juga memiliki karakteristik soto?
Di samping fanatisme atau kebanggaan kedaerahan yang besar, memang sulit untuk menyatakan keseragaman bagi soto Nusantara. Sekalipun banyak elemen kesamaannya, tetap ada elemen pembeda yang menonjol. Contohnya adalah soto Padang dan Soto Medan. Keduanya memakai isi berupa daging sapi yang setelah direbus empuk dalam kuah soto, kemudian digoreng hingga garing bagian luarnya. Daging dan jeroan goreng ini kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam kuah. Kuah Soto Padang dan kuah Soto Medan sama-sama berempah, sama-sama gurih, namun mempunyai tarikan yang sangat berbeda. Penggemar fanatik soto dapat membedakan Soto Padang dan Soto Medan dengan mata tertutup.
Soto Betawi yang juga memakai daging goreng pun tampil dengan karakter kuah yang unik dan tidak dapat disamakan dengan Soto Padang ataupun soto Medan. Ketiga jenis soto ini - Soto Padang, Soto Medan, dan Soto Betawi - juga disajikan dengan sambal pendamping yang sama sekali berbeda pula.
Dengan kuah yang persis sama, Soto Medan juga hadir dengan isi yang berbeda, yaitu udang goreng polos. Soto udang paling dahsyat yang pernah saya cicipi adalah yang mangkal di Jalan Ahmad Yani (Kesawan), Medan. Sampai termimpi-mimpi kalau sedang rindu soto udang Medan itu.
Pada dasarnya, soto Nusantara memakai dua jenis kuah, yaitu kuah santan dan kuah bening atau kuah kaldu. Soto Betawi bahkan mencampur santan dengan susu sapi untuk mencapai citarasa kelemakan yang khas. Susu menghaluskan tekstur santan ketika menyentuh lidah. Tetapi, cotto Makassar memakai kuah kacang tanah yang direbus lama sampai hancur. Berbagai bumbu dasar juga dipakai pada berbagai jenis soto, misalnya: daun salam, sereh, lengkuas, dan kunyit.
Daging yang paling banyak dipakai untuk soto adalah daging sapi, ayam, dan kerbau - termasuk jeroannya. Tampaknya, kambing, bebek, dan ikan selalu didiskualifikasikan dalam dunia persotoan. Tetapi, bukankah sop kambing sebetulnya sangat memenuhi syarat untuk disebut soto kambing juga? Begitu pula dengan sop bebek dan sop ikan?
Seperti sate, soto juga cukup versatile untuk disandingkan dengan nasi maupun ketupat atau lontong. Bahkan, dalam kasus soto mi kita melihat bahwa mi pun ternyata merupakan karbohidrat yang matching untuk mendampingi soto.
Jadi, soto mana yang paling saya sukai? Semua! Hmm, dasar rakus! Tetapi, sungguh sulit untuk bersikap "pilih kasih" dalam soal persotoan. Begitu kita menyebut satu jenis soto favorit, serta-merta kita akan menyesalinya karena akan muncul nama soto lain yang juga tidak rela kita kesampingkan. Mana mungkin saya mengatakan Soto Banjarmasin lebih enak daripada Soto Kudus? Kalau saya berani menyebut Soto Medan yang paling enak, bisa-bisa saya diguyur kuah soto panas kalau besok saya melintas di Jalan Suryakencana, Bogor.
Ampun, dah! Republik Soto Indonesia memang tidak akan pernah dapat dipersatukan. Tetapi, justru pada keberagaman itulah letak keindahan soto Nusantara.
Yuk, bikin Festival Soto Nusantara, yuk? Gemes, deh! Siapa tahu, daftar persotoan kita akan semakin panjang dan kaya.
INDONESIA GITU LOH ! APA SIH YANG GAK KEREN DARI INDONESIA??? JADI YA WAJAR AJA KALO MALINGSIAL IRI N SIRIK BANGET AMA KITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar